Monday, March 28, 2011

Polisi ... oh Polisi ...

“Hayo ... sapa aja preman di jalanan ?!? Polisiii !!! huss ! ngawur ! ... yang serius naa ?! Penjahat ! tul, trus ?! perampok ! benar, lalu ? penjambret ! itu juga betul,... dan lain-lainnya ya”.
“Eh ! Ngomong-ngomong soal polisi ... sapa yang belum pernah kena tilang ?!?”
“Hayo angkat tangan ?!?! gak usah malu-malu ...”
“Kang ! jangan lewat situ, kang ! banyak polisi tidurnya”
Tuh kan ... polisi tidur aja, udah bikin masalah, apalagi klo bangun ?!? hahaha ...
Gak jarang, kita memilih jalan memutar untuk menghindari jalan-jalan yang banyak polisi tidurnya (apalagi yang rada tinggi). Kenapa mesti disebut polisi tidur ya ?!?
POLISI ... Duh Gusti ... gimana ya caranya mencintai aparat yang punya lebel Polisi ini ?!? Dari penulis kecil sampe sekarang kok, image - nya gak banyak berubah ya ?! mulai dari polisi lalu lintas yang banyak bergesekan dengan masyarakat, sampe berita polisi yang muncul di koran-koran. Ada yang baik, tapi gak sedikit juga yang mencoreng citra kepolisian, semisal keterlibatan anggota polisi di pesta sabu-sabu / narkoba, urusan korupsi, bahkan sampai ke permasalahan markus yang lagi up date saat ini. Tapi, karena penulis belum pernah jadi kriminal (dan jangan sampe terjadi), maka persinggungannya dengan polisi hanya di seputaran polisi lalu lintas ... polisi urusan SIM ... dan polisi urusan STNK, hahaha ...
Salah gak ya .... klo kita beranggapan polisi lalu lintas sebagai preman di jalanan. Mereka berseragam ... mereka kadang menindak pengendara dengan semena-mena ... tapi, pada akhirnya, mereka mau juga “menasehati” (baca = basa-basi) dan kemudian membebaskan kita setelah “berdamai”, hahaha ...
Abis, ... gimana gak semena-mena ?! klo gak pas waktunya operasi resmi, mereka kadang nyegat sekenanya aja. Alasannya,”tangan saya cuma ada 2”. Pengendara yang lolos, akan bersyukur. Sedangkan, yang kebetulan tertangkap tangan, dia akan menganggap, ini adalah hari sialnya, hahaha ...
Dan saat operasi resmi, selalu ada polisi yang “berjaga” (baca = ngumpet) di ujung jalan untuk bersiap mengejar pengendara yang coba menghindar. Kesannya jadi seperti jemput bola, hahaha ...
Ato, pas lampu merah di perempatan jalan, si polisi tiba-tiba mengambil kunci si pengendara dari arah belakang. Saat si pengendara masih kaget dan bingung,... ”ikut saya ke pos”. Nah lo ...  di saat seperti ini nih, ... ketika si pengendara mendorong motornya menuju pos, secara psikologi, dia sudah diperlakukan sebagai orang yang bersalah. Dimana ya asas “praduga tak bersalahnya ?!” “kamu tau salahmu ?” wahh ... klo si polisi sudah mulai dengan pertanyaan seperti itu, dia pasti akan ngomong tentang aturan-aturan lalu lintas, dan karena itu memang “wilayah” keahliannya, (meski ngeyel), si pengendara tetap saja bersalah, hahaha ... Mau minta maaf ?! wee .... kadang itu gak cukup, men. Klo dah gitu, si pengendara cuma bisa pasrah dan misuh-misuh dalam hati, hahaha ...
Terkadang (di situasi yang lain), setelah minta ditunjukkan SIM ato STNK kita, si polisi langsung membawa SIM / STNK kita menuju pos jaga dan bersiap membuatkan surat tilang. Klo kita bertanya ato diam cukup lama, baru si polisi menjelaskan kesalahan kita. Tapi, ujung-ujungnya (kebanyakan), secara sah dan meyakinkan, kita memang salah. Abis, mau gimana lagi ?!?! Kita memang bukan polisi. Di kampus juga begitu, meski si mahasiswa itu pinter, mudah bagi dosen membuat si mahasiswa gak lulus ujian. Mereka memang ahli di bidangnya. Jadi, ... permasalahannya bukan di salah ato gak. Tapi, bagaimana menilai kesalahan secara proporsional. Sehingga, jangan sampe muncul kesan, mencari-cari kesalahan. Seperti kata Jaya Suprana, di Jepang, "peternakan kambing hitam" susah ditemui, karena orang Jepang, kurang hobi mencari kambing hitam, hahaha ...
Meski beberapa kali berurusan dengan polisi lalu lintas, penulis pernah sekali, benar-benar dimaafkan. Sebenarnya, itu adalah kejadian yang biasa dan wajar adanya, karena penulis yakin, setiap polisi pasti bisa membedakan pengendara yang melanggar lalu lintas dengan sengaja ato gak sengaja. Yang terpaksa ato yang gak terpaksa. Tapi, ya itu tadi ... mereka kadang memang suka pura-pura gak mau tau, hahaha ...
Pengalaman pertama kena tilang, terjadi saat masih SMA dulu. Karena masih belajaran, penulis memilih waktu malam hari. Harapannya jelas, menghindari polisi. Tapi, namanya takdir, saat belok kiri di pertigaan pasar wage, eh ... ternyata itu adalah jalur searah. Begitu sadar dan mau mundur, polisi dengan sigap sudah ada di samping kanan. “Ayo ke pos”. Alamak dah ... saat itu, penulis benar-benar mengiba antara takut dan kuatir. Ya karena belum punya SIM lah ... ya karena motor itu (RX Spesial) kepunyaan kakak yang kuliah di Surabaya lah ... ya karena takut sama mbah putri lah. Akhirnya, .... setelah ketemu harga yang disepakati, penulis pulang ke rumah untuk ambil duit dan langsung balik lagi. Nominalnya lupa (karena dah lama). Yang pasti, ongkos becak PP dengan duit tilangnya, hampir sama. Meski duit tabungan ludes, yang penting mbah puteri ato kakak, gak pernah tau kejadian itu. Amaa ... nnn, hahaha ...
Setelah kejadian itu, sampai tua begini, penulis sudah beberapa kali kena tilang polisi. Tilang lagi ... tilang lagi. Macam-macam bentuknya. Ada yang berakhir damai di TKP ... ada yang dibayar lewat bank ... ada yang titip sidang di TKP ... ada yang ikut antrian di ruang sidang dan duduk di depan hakim ... ada yang titip calo di sekitar pengadilan dan ada juga yang cukup diambil sore hari di kantor pengadilan, tanpa harus menghadiri sidangnya. Dan dari semua itu, yang paling murah ongkosnya, ya ... damai di TKP, hahaha ...  
Saat ada temen yang mau mendaftar AKABRI di jaman SMA dulu, ada temen lain yang nyeletuk,”daftar polisi ae. Cepet sugih e kon. Pangkat boleh kopral, ning isok gaji jendral. Tapi, lek kepingin karir, yo milih Angkatan Darat”. Kok bisa gitu ya ?!?
Di lambung mobil Highway Patrol polisi, kadang ada tulisan “Melayani Masyarakat” ato “Pengayom Masyarakat”. Tapi, masyarakat mana yang dimaksud ?! bagi kita yang tersesat jalan ato bingung nyari alamat, biasanya malah lebih suka nanya ke abang becakpenjaga warkoppemilik warung kelontongan – ato ke orang sekitar. Klo kita terlibat tabrakan pun, lebih baik segera bubar jalan sebelum polisi datang. Selanjutnya, biar kedua pihak menyelesaikan secara kekeluargaan di rumah penduduk sekitar TKP. Sebab, apapun urusannya, klo dah melibatkan polisi, kadang memang jadi tambah ruwet (dan klo ada biaya yang dikeluarkan, pasti malah jadi mahal), hahaha ... 
Tapi, penulis percaya ... gak semua polisi seperti itu. Pasti ada yang baik. Bahkan (kata seorang sahabat), ada polisi yang sampai punya pesantren segala. Yang jelek, biasanya disebut : oknum. Tapi, apapun itu, kepolisian itu adalah sebuah kelembagaan/ organisasi. Tinggal diliat, klo dalam organisasi itu, banyak yang jelek daripada yang baik, mending organisasi itu dibubarkan aja. Ganti dengan nama baru, seperti "Kepolisian Formasi Baru" ato apalah. Yang penting, bisa memunculkan harapan baru, dimana keberadaan polisi di jalanan, bisa disegani - dicintai - dan dirindukan masyarakatnya. Bukannya malah ditakuti dan dihindari, seperti polisi tidur dijalanan, hahaha ... es cao !

Artikel terkait :


Submit your 
content Every Day to 25 social 
bookmarking sites, all on unique 
C class IPs... FREE.